Kamis, 12 Juni 2025

Kita Mungkin Tidak Bertemu Lagi, Hiduplah Dengan Baik

 


Ada kalimat yang tertinggal begitu dalam di hatiku.

Kalimat yang menghantui malamku dan menguatkan siangku.

 

"Kita mungkin tidak bertemu lagi… hiduplah dengan baik."

Itulah kalimat terakhir dari abangku. Kalimat sederhana, namun terasa seperti palu yang menghantam dadaku setiap kali aku mengingatnya.

 

 Rumah Yang Tak Lagi Sama

 

Dulu kami berlima—aku, mamak, dan tiga saudaraku—tinggal bersama dalam rumah kecil penuh harapan. Tapi semuanya berubah setelah perceraian orang tua. Ayah memilih menikah lagi dan pergi tanpa menoleh ke belakang. Kami dibiarkan menata ulang reruntuhan keluarga.

 

Abang sulung menjadi andalan. Dia yang paling besar, yang paling dewasa. Wajahnya jarang menunjukkan lelah, padahal aku tahu, dia memikul terlalu banyak beban untuk usianya. Dia berhenti kuliah, bekerja serabutan demi kami. Dia adalah jangkar, tempat kami semua bersandar.

 

 Aku Pergi Saat Dia Membutuhkan Aku

 

Aku tidak sekuat dia. Ketika tekanan hidup semakin berat, aku memilih pergi. Merantau ke Kalimantan, mengejar masa depan yang katanya lebih baik. Kupikir aku bisa membantu dari jauh. Kupikir aku akan pulang saat sudah sukses. Tapi yang terjadi, aku malah menjauh dan larut dalam urusanku sendiri.

 

Sementara itu, abang tetap di sana. Tetap memikul semuanya sendirian. Listrik, air, sewa rumah, makanan, mamak—semuanya di tangannya.

 

 Mamak Sakit, Kami Tak Siap


 Beberapa tahun kemudian, mamak terserang stroke dan perlahanlahan dilumpuhkan oleh demensia. Kakak perempuan bekerja di luar kota, abang kedua sibuk menyelamatkan dirinya sendiri—sama sepertiku.

 

Dan abang sulung, lagil agi dia yang tinggal.

Dia berhenti bekerja, tenggelam dalam hutang, terlilit beban yang seharusnya kami pikul bersama. Tapi kami tak ada. Kami bahkan tak peduli seutuhnya.

 

Ketika mamak meninggal, aku tidak di sana. Yang hadir hanya tiga saudaraku. Saat itu abang sulung tidak berkata banyak. Dia hanya menulis sepucuk surat yang sampai padaku beberapa hari kemudian:

 


 “Mungkin kita tidak bertemu lagi. Hiduplah dengan baik.”

 

Setelah itu, dia menghilang. Tidak ada kabar, tidak ada jejak.

 

 Rindu Yang Tak Dapat Kembali

 

Bertahuntahun berlalu, dan aku masih berharap. Setiap suara ketukan di pintu, setiap pesan masuk ke ponsel, hatiku selalu berharap:

 

"Apakah ini abang? Apakah dia pulang?"

 

Aku merindukan senyumnya. Merindukan pelindung yang dulu menjagaku dari kerasnya dunia. Merindukan nasihatnya, tangannya di pundakku, dan rasa aman yang dia bawa hanya dengan keberadaannya.

 

 Penyesalan yang Mengubah Arah Hidup

 

Kini, aku hidup dengan satu tekad: meniru semangat dan tanggung jawab abangku.

Aku mulai menjaga keluarga. Membantu sebisa mungkin. Menjadi andalan, walau aku tahu aku belum setangguh dia.

 

Karena aku percaya… jika suatu hari abang pulang, aku ingin dia melihat bahwa aku sudah berubah. Bahwa aku sudah mencoba menjadi lelaki sepertinya.

 

Aku membayangkan suatu pagi, saat sedang menyapu halaman, ada suara yang memanggil dari depan rumah:

 

"Ari… Abang pulang."

 

Dan aku akan berlari, memeluknya erat, sambil berkata,

"Maaf aku meninggalkanmu. Tapi aku tidak akan biarkan kau menanggung semua lagi."

 

 

 

 Untuk Kamu Yang Membaca Ini...

 

Jika kamu masih punya abang, kakak, adik, orang tua—jangan abaikan mereka. Jangan tunda untuk menghubungi mereka. Waktu tidak selalu memberi kita kesempatan kedua.

 

Karena seperti abangku pernah bilang:

"Kita mungkin tidak bertemu lagi… hiduplah dengan baik."

 

Dan kini, setiap hari aku berusaha.

Agar bila pertemuan itu tak pernah terjadi, aku tahu… aku sudah mencoba menjadi lebih baik.


 Ide Artikel berasal dari Imajinasi penulis dan Sarayu GPT


EmoticonEmoticon

AMarkets

Justmarkets

JustMarkets JustMarkets JustMarkets JustMarkets JustMarkets

FXPro

img img img

Exness

FBS

Tickmill

path path path path path path

XM

Roboforex

M4Markets