Ada kalimat yang tertinggal begitu dalam di hatiku.
Kalimat yang menghantui malamku dan menguatkan siangku.
"Kita mungkin tidak bertemu lagi… hiduplah dengan
baik."
Itulah kalimat terakhir dari abangku. Kalimat sederhana,
namun terasa seperti palu yang menghantam dadaku setiap kali aku mengingatnya.
Rumah Yang Tak Lagi
Sama
Dulu kami berlima—aku, mamak, dan tiga saudaraku—tinggal
bersama dalam rumah kecil penuh harapan. Tapi semuanya berubah setelah
perceraian orang tua. Ayah memilih menikah lagi dan pergi tanpa menoleh ke
belakang. Kami dibiarkan menata ulang reruntuhan keluarga.
Abang sulung menjadi andalan. Dia yang paling besar, yang
paling dewasa. Wajahnya jarang menunjukkan lelah, padahal aku tahu, dia memikul
terlalu banyak beban untuk usianya. Dia berhenti kuliah, bekerja serabutan demi
kami. Dia adalah jangkar, tempat kami semua bersandar.
Aku Pergi Saat Dia
Membutuhkan Aku
Aku tidak sekuat dia. Ketika tekanan hidup semakin berat,
aku memilih pergi. Merantau ke Kalimantan, mengejar masa depan yang katanya
lebih baik. Kupikir aku bisa membantu dari jauh. Kupikir aku akan pulang saat
sudah sukses. Tapi yang terjadi, aku malah menjauh dan larut dalam urusanku
sendiri.
Sementara itu, abang tetap di sana. Tetap memikul semuanya
sendirian. Listrik, air, sewa rumah, makanan, mamak—semuanya di tangannya.
Mamak Sakit, Kami Tak
Siap
Dan abang sulung, lagil agi dia yang tinggal.
Dia berhenti bekerja, tenggelam dalam hutang, terlilit beban
yang seharusnya kami pikul bersama. Tapi kami tak ada. Kami bahkan tak peduli
seutuhnya.
Ketika mamak meninggal, aku tidak di sana. Yang hadir hanya
tiga saudaraku. Saat itu abang sulung tidak berkata banyak. Dia hanya menulis
sepucuk surat yang sampai padaku beberapa hari kemudian:
“Mungkin kita tidak bertemu lagi. Hiduplah dengan
baik.”
Setelah itu, dia menghilang. Tidak ada kabar, tidak ada
jejak.
Rindu Yang Tak Dapat
Kembali
Bertahuntahun berlalu, dan aku masih berharap. Setiap suara
ketukan di pintu, setiap pesan masuk ke ponsel, hatiku selalu berharap:
"Apakah ini abang? Apakah dia pulang?"
Aku merindukan senyumnya. Merindukan pelindung yang dulu
menjagaku dari kerasnya dunia. Merindukan nasihatnya, tangannya di pundakku,
dan rasa aman yang dia bawa hanya dengan keberadaannya.
Penyesalan yang
Mengubah Arah Hidup
Kini, aku hidup dengan satu tekad: meniru semangat dan
tanggung jawab abangku.
Aku mulai menjaga keluarga. Membantu sebisa mungkin. Menjadi
andalan, walau aku tahu aku belum setangguh dia.
Karena aku percaya… jika suatu hari abang pulang, aku ingin
dia melihat bahwa aku sudah berubah. Bahwa aku sudah mencoba menjadi lelaki
sepertinya.
Aku membayangkan suatu pagi, saat sedang menyapu halaman,
ada suara yang memanggil dari depan rumah:
"Ari… Abang pulang."
Dan aku akan berlari, memeluknya erat, sambil berkata,
"Maaf aku meninggalkanmu. Tapi aku tidak akan biarkan
kau menanggung semua lagi."
Untuk Kamu Yang
Membaca Ini...
Jika kamu masih punya abang, kakak, adik, orang tua—jangan
abaikan mereka. Jangan tunda untuk menghubungi mereka. Waktu tidak selalu
memberi kita kesempatan kedua.
Karena seperti abangku pernah bilang:
"Kita mungkin tidak bertemu lagi… hiduplah dengan baik."
Dan kini, setiap hari aku berusaha.
Agar bila pertemuan itu tak pernah terjadi, aku tahu… aku
sudah mencoba menjadi lebih baik.
EmoticonEmoticon