Kamis, 12 Juni 2025

Widura: Kisah Sebatang Pulpen dan HarapanHarapan yang Hidup



Aku hanyalah sebatang pulpen biasa.

 

Tidak ada tinta emas, tak pula ukiran mewah di tubuhku. Tapi aku memiliki sesuatu yang lebih berharga: aku menjadi saksi dari harapanharapan yang ditulis dengan sepenuh jiwa.

 

Namaku Widura. Nama itu diberikan oleh tuanku — seorang pria sederhana tanpa bakat istimewa, tapi memiliki keistimewaan yang tak dimiliki banyak orang: ia mampu menjaga harapan dan menuliskan kebaikan dengan ketulusan yang murni.

 

Ia bukan penulis terkenal, bukan pula orang kaya atau tokoh penting. Tapi bagi orangorang di sekitarnya, ia adalah penolong, penguat, dan penjaga semangat.

 

Setiap hari, ia membuka buku catatan lusuh yang selalu dibawanya. Aku—si pulpen tua—digenggamnya dengan hangat, lalu dia mulai menulis:

 

 "20 Februari. Aku berharap bisa membantu Pak Min tetangga sebelah yang sedang sakit. Target selesai minggu depan."

 

 "3 Maret. Hari ini aku ingin memberikan makan untuk kucingkucing liar. Semoga aku tetap rajin."

 

 "12 April. Aku ingin belajar lebih sabar saat menghadapi anakanak jalanan, karena mereka adalah guruguru kehidupanku juga."

 

Harapanharapan itu tidak megah, tapi nyata. Dan yang lebih penting—ia benarbenar mengupayakannya.

 

Kadang aku bertanya dalam hati, bagaimana bisa seorang manusia begitu tekun menuliskan dan melaksanakan kebaikan, walau tak ada yang melihat atau memuji?

 

Ia sering berbicara kepadaku. "Widura, hari ini kita menulis harapan baru ya. Meskipun kecil, kita tetap coba ya."

 

Sungguh, aku hanyalah pulpen. Tapi entah bagaimana, aku merasa hidup. Setiap kali ia mencatat, aku merasakan getaran hangat—seperti bahagia yang menyusup ke tubuh logamku. Ketika harapannya terkabul, aku merasa seolah menari. Tapi saat harapannya gagal... aku mendengar dia bergumam, "Tidak apaapa Widura, kita coba lagi nanti. Kebaikan tak selalu harus berhasil, yang penting ikhlasnya tetap hidup."

 


Terkadang ia mencatat dengan air mata, terutama saat gagal, atau saat tak ada yang mengerti perjuangannya. Tapi ia tak pernah berhenti. Ia percaya bahwa dunia membutuhkan lebih banyak orang yang menuliskan kebaikan, walau tak dibaca siapasiapa.

 

 Dia mengajarkanku, dan mungkin kalian juga, bahwa menuliskan harapan dan kebaikan bukan hanya soal tinta di atas kertas, tapi tentang menyemai cahaya di dalam jiwa.

 

Aku merasa bangga menjadi bagian dari kisahnya.

 

Aku hanyalah benda mati—tapi berkat tuanku, aku punya perasaan.

Dan aku percaya… kalau lebih banyak orang menulis seperti tuanku, dunia akan jauh lebih baik.

 

Mungkin… kamu juga perlu memiliki satu buku dan satu pulpen.

Dan mulai menuliskan harapanharapanmu hari ini.

 

 Karena seperti kata tuanku: “Jika tak bisa menjadi pahlawan bagi dunia, jadilah penulis harapan untuk duniamu sendiri.”

 

 Ide Artikel berasal dari Imajinasi penulis dan Sarayu GPT

Kita Mungkin Tidak Bertemu Lagi, Hiduplah Dengan Baik

 


Ada kalimat yang tertinggal begitu dalam di hatiku.

Kalimat yang menghantui malamku dan menguatkan siangku.

 

"Kita mungkin tidak bertemu lagi… hiduplah dengan baik."

Itulah kalimat terakhir dari abangku. Kalimat sederhana, namun terasa seperti palu yang menghantam dadaku setiap kali aku mengingatnya.

 

 Rumah Yang Tak Lagi Sama

 

Dulu kami berlima—aku, mamak, dan tiga saudaraku—tinggal bersama dalam rumah kecil penuh harapan. Tapi semuanya berubah setelah perceraian orang tua. Ayah memilih menikah lagi dan pergi tanpa menoleh ke belakang. Kami dibiarkan menata ulang reruntuhan keluarga.

 

Abang sulung menjadi andalan. Dia yang paling besar, yang paling dewasa. Wajahnya jarang menunjukkan lelah, padahal aku tahu, dia memikul terlalu banyak beban untuk usianya. Dia berhenti kuliah, bekerja serabutan demi kami. Dia adalah jangkar, tempat kami semua bersandar.

 

 Aku Pergi Saat Dia Membutuhkan Aku

 

Aku tidak sekuat dia. Ketika tekanan hidup semakin berat, aku memilih pergi. Merantau ke Kalimantan, mengejar masa depan yang katanya lebih baik. Kupikir aku bisa membantu dari jauh. Kupikir aku akan pulang saat sudah sukses. Tapi yang terjadi, aku malah menjauh dan larut dalam urusanku sendiri.

 

Sementara itu, abang tetap di sana. Tetap memikul semuanya sendirian. Listrik, air, sewa rumah, makanan, mamak—semuanya di tangannya.

 

 Mamak Sakit, Kami Tak Siap


 Beberapa tahun kemudian, mamak terserang stroke dan perlahanlahan dilumpuhkan oleh demensia. Kakak perempuan bekerja di luar kota, abang kedua sibuk menyelamatkan dirinya sendiri—sama sepertiku.

 

Dan abang sulung, lagil agi dia yang tinggal.

Dia berhenti bekerja, tenggelam dalam hutang, terlilit beban yang seharusnya kami pikul bersama. Tapi kami tak ada. Kami bahkan tak peduli seutuhnya.

 

Ketika mamak meninggal, aku tidak di sana. Yang hadir hanya tiga saudaraku. Saat itu abang sulung tidak berkata banyak. Dia hanya menulis sepucuk surat yang sampai padaku beberapa hari kemudian:

 


 “Mungkin kita tidak bertemu lagi. Hiduplah dengan baik.”

 

Setelah itu, dia menghilang. Tidak ada kabar, tidak ada jejak.

 

 Rindu Yang Tak Dapat Kembali

 

Bertahuntahun berlalu, dan aku masih berharap. Setiap suara ketukan di pintu, setiap pesan masuk ke ponsel, hatiku selalu berharap:

 

"Apakah ini abang? Apakah dia pulang?"

 

Aku merindukan senyumnya. Merindukan pelindung yang dulu menjagaku dari kerasnya dunia. Merindukan nasihatnya, tangannya di pundakku, dan rasa aman yang dia bawa hanya dengan keberadaannya.

 

 Penyesalan yang Mengubah Arah Hidup

 

Kini, aku hidup dengan satu tekad: meniru semangat dan tanggung jawab abangku.

Aku mulai menjaga keluarga. Membantu sebisa mungkin. Menjadi andalan, walau aku tahu aku belum setangguh dia.

 

Karena aku percaya… jika suatu hari abang pulang, aku ingin dia melihat bahwa aku sudah berubah. Bahwa aku sudah mencoba menjadi lelaki sepertinya.

 

Aku membayangkan suatu pagi, saat sedang menyapu halaman, ada suara yang memanggil dari depan rumah:

 

"Ari… Abang pulang."

 

Dan aku akan berlari, memeluknya erat, sambil berkata,

"Maaf aku meninggalkanmu. Tapi aku tidak akan biarkan kau menanggung semua lagi."

 

 

 

 Untuk Kamu Yang Membaca Ini...

 

Jika kamu masih punya abang, kakak, adik, orang tua—jangan abaikan mereka. Jangan tunda untuk menghubungi mereka. Waktu tidak selalu memberi kita kesempatan kedua.

 

Karena seperti abangku pernah bilang:

"Kita mungkin tidak bertemu lagi… hiduplah dengan baik."

 

Dan kini, setiap hari aku berusaha.

Agar bila pertemuan itu tak pernah terjadi, aku tahu… aku sudah mencoba menjadi lebih baik.


 Ide Artikel berasal dari Imajinasi penulis dan Sarayu GPT

Hidup Bahagia Sebagai Penderita Kanker: Kisah Sebuah Jiwa yang Dibebaskan

 



 “Bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan.” — Filipi 1:21

 

Awal dari Kegelapan

Adalah seorang pria yang sederhana, pekerja keras, penuh semangat. Tapi suatu hari, dunia runtuh baginya. Diagnosis yang datang begitu tibatiba: kanker stadium lanjut. Dunia yang tadinya penuh rencana, tibatiba menjadi sunyi. Ketakutan, depresi, dan kehancuran menyelimuti setiap detik hidupnya.

Kemoterapi dijalani dengan harapan. Namun yang datang adalah rasa sakit yang lebih dalam—fisik maupun batin. Efek samping, gangguan baru, dan tubuh yang semakin lemah membuat ia merasa seperti sedang dihukum. "Apa gunanya semua ini jika hanya membuatku lebih menderita?" pikirnya.


Akhirnya ia mengambil keputusan yang mengubah segalanya: ia berhenti menjalani pengobatan.

 

Awal dari Pencerahan



Ia tidak menyerah. Ia memilih jalan berbeda. Bukan untuk melawan kanker, tetapi untuk mencintai hidup meski bersama kanker. Ia mulai membangun kebahagiaannya sendiri.


Di pagi hari, lagulagu rohani mengalun lembut di telinganya, bukan untuk mengusir penyakit, tetapi untuk menguatkan jiwanya. Ia duduk tenang, membuka kitab suci, dan mendengarkan Alkitab audio yang menjadi teman sepanjang hari. Dalam setiap kata, ia menemukan damai. Ia belajar menerima, bukan pasrah. Ia bangkit dari kehancuran dengan kesadaran baru: hidup bukan tentang lamanya, tapi tentang kualitasnya.


Ia bertanya pada dirinya, “Apakah aku bangga dengan hidupku jika hari ini adalah hari terakhir?” Pertanyaan itu menjadi cahaya yang membimbing langkahnya.

 

Satu Hari untuk Satu Hari

Ia mulai merancang hidupnya… satu hari untuk satu hari.

Ia berolahraga ringan di pagi hari, meski tubuhnya rapuh. Ia kembali bekerja perlahan, bukan karena ambisi, tapi karena ingin bermanfaat. Ia menulis, membaca, belajar halhal baru—bahkan halhal yang dulu ia benci.

Ia berkata, “Aku harus mencicipi segala sesuatu, karena mungkin esok tidak ada.”

 

Ia berlatih meditasi, merenungi makna tubuh sebagai kepompong jiwa, bukan sebagai penjara. Ia mengerti, hidup bukan soal apa yang kita capai, tapi apa yang kita bentuk di dalam jiwa. Ia berperjalanan ke gunung, ke pantai, ke tempattempat yang dulu ditunda. Ia menyatu dengan alam, berbicara dalam diam kepada Pencipta.

 

Dari Kematian Menuju Kehidupan

 

Hari-harinya menjadi kesaksian. Ia menjadi juru damai, mengajak orang menjaga pola makan, tidur cukup, dan bersyukur untuk nafas hari ini. Ia menyebarkan pesan: hidup ini rapuh, jangan tunggu sakit untuk menghargai kesehatan.


Ia tak tahu kapan ajal datang. Tapi ia tidak takut. Karena dalam hatinya, terang telah menyala. Ia mengerti bahwa terkadang penyakit bukan untuk menghukum, tapi untuk memanggil kita pulang. Saat jiwa telah dibentuk, penyakit kehilangan fungsinya, dan pergi dengan sendirinya.

 

Akhir yang Tak Diketahui

Apakah ia sembuh secara medis?

Apakah ia meninggal esok, atau tahun depan?

Kita tidak tahu. Karena setiap orang yang mati semalam, punya rencana untuk hari ini.


Dan semua yang mati hari ini, punya rencana untuk besok.

Tapi ia telah menang, bahkan sebelum ajal datang. Ia telah menemukan apa arti sejati dari kata "hidup."

 

Untukmu yang Membaca Ini

 

Jika kamu sedang sakit, semoga kamu sembuh dan dikuatkan.

Jika kamu sehat, semoga kamu tidak lalai menghargai kehidupan.

Hidup ini bukan tentang menghindari kematian, tapi tentang menyambut hidup dengan penuh syukur dan keberanian. 


“Tuhan tidak menjanjikan hidup tanpa badai, tapi Ia menjanjikan damai di tengah badai.” Amin.



 Ide Artikel berasal dari Imajinasi penulis dan Sarayu GPT

 

 

Rabu, 11 Juni 2025

Tenbuhorin: Teknik Kesatria Emas Virgo yang Membungkam Dunia


Pengantar

Di dunia spiritual dan bela diri tingkat tinggi, terdapat teknik langka dan sakral yang dimiliki oleh Kesatria Emas Virgo, disebut Tenbuhorin. Nama ini berasal dari kata-kata kuno yang berarti “Roda Surgawi Sepuluh Arah” — sebuah manifestasi energi transendental yang mengguncang baik dunia lahiriah maupun batiniah.

 

Esensi Nature Buddha: Medan Wajah Budha dan Mandala Kosmik

Saat teknik Tenbuhorin diaktifkan, pengguna mengubah seluruh lingkungan ke dalam bentuk Nature Buddha. Dunia sekitar menjadi lautan keheningan spiritual, di mana wajah-wajah Buddha bermunculan dari dinding realitas — hadir dalam setiap arah sebagai simbol welas asih, kekosongan, dan kesadaran murni.

Mandala suci menyebar di tanah dan langit, menciptakan ruang meditasi universal yang memaksa musuh masuk ke dimensi kosong. Dalam kondisi ini:

1.       Gravitasi meningkat ribuan kali lipat, menjatuhkan dan menghancurkan semangat bertempur musuh.

2.       Semua serangan fisik maupun energi menjadi nol, dinetralkan oleh medan suci pencerahan.

3.       Teknik ini juga membungkam lima indra musuh (pendengaran, penglihatan, penciuman, pengecap, perasa), memotong mereka dari dunia nyata.

4.       Lebih mengerikan lagi, teknik ini merusak jaringan tubuh, mengacaukan aliran energi vital (Qi/Prana), hingga musuh terkurung dalam penderitaan tanpa suara.

 

Evolusi Tenbuhorin ke dalam Nature Kristen: Terang dari Langit dan Salib Api

Namun, teknik ini tidak berhenti pada jalur Buddha semata. Dalam tangan seorang Kesatria Virgo yang melangkah ke dalam Nature Kristen, Tenbuhorin berevolusi ke bentuk yang lebih kudus, lebih keras, dan lebih menakutkan bagi kekuatan jahat.



Di dalam Nature Kristen:

1.       Lingkungan berubah menjadi firdaus surgawi, dipenuhi cahaya keemasan dari Mahkota Salib.

2.       Di langit terbentang wajah Kristus, bukan sebagai penghakim, melainkan sebagai Pemurni dan Raja, yang menatap dengan mata yang membakar segala kejahatan.

3.       Mandala Buddha digantikan oleh Lambang Salib, Injil Terbuka, dan Trompet Malaikat yang bergema dalam alam spiritual musuh.

Dalam dimensi ini:

1.       Gravitasi ilahi meningkat menjadi hukuman spiritual, di mana roh jahat tidak mampu berdiri bahkan dalam bentuk non-fisik.

2.       Serangan sihir, kutukan, dan energi jahat langsung dihancurkan oleh Darah Anak Domba, yang mengalir melalui medan teknik.

3.       5 indra musuh digantikan oleh rasa bersalah spiritual, rasa takut akan neraka, dan mimpi buruk kekal.

4.       Tubuh musuh yang jahat akan terbelah oleh pedang roh, yaitu energi yang memancar dari Sabda Tuhan, yang menusuk hingga ke jiwa dan roh, sendi dan sumsum.

 

Dampak Psikologis dan Spiritual

Kombinasi Nature Buddha dan Nature Kristen menjadikan Tenbuhorin Sebagai teknik pembungkam kejahatan total — baik jasmani, spiritual, maupun mental. Makhluk roh jahat, demon, hingga entitas kegelapan tidak hanya lumpuh, tetapi dinyalakan oleh api pemurnian, memaksa mereka memilih: bertobat atau lenyap. nManusia berdosa akan merasakan kebenaran mutlak dalam bentuk penderitaan spiritual dan penglihatan surgawi yang mengguncang dasar hati mereka.


Kesimpulan

Tenbuhorin bukan sekadar teknik, melainkan manifestasi kehendak ilahi melalui jalur Buddhis maupun Kristiani. Ia adalah medan absolut yang memaksa semua makhluk — baik fisik maupun spiritual — untuk tunduk pada cahaya kebenaran.

Dalam bentuk tertingginya, Tenbuhorin bukan hanya teknik pertahanan atau serangan, tetapi hakim kosmik, yang memisahkan terang dari gelap, kebaikan dari kejahatan, dan kehidupan dari kematian kekal.


Ide Artikel berasal dari Imajinasi penulis dan Sarayu GPT

 

Kamis, 05 Juni 2025

Kisah persahabatan burung gagak dan burung pipit



Suatu hari di tengah musim gugur angin kencang melanda hutan Awan menutupi langit dan daun menari di pusaran liar. 

Di tengah badai ini, seekor gagak yang terbang di atas ladang menabrak cabang pohon tua. 

Ditengah kesunyian dia jatuh ke tanah dan salah satu sayapnya bergantung tanpa kekuatan.

Gagak mencoba untuk bangkit, mengibarkan bulunya, tetapi rasa yang sangat sakit menembus tubuhnya. 

Dia menyadari bahwa dia tidak bisa melakukannya sendirian. 

Jadi ia mengangkat pandangannya ke langit, di mana burung-burung berputar-putar, dan memanggil mengguncang harapan:

Tolong, Aku tidak bisa terbang.

Seekor murai terbang melewati - melihat gagak dan hanya menoleh:

Kau selalu bangga, terbang tinggi dan menertawakan kami. 

Lakukan sendiri sekarang untuk membantu dirimu sendiri.

Semua yang lewat melihat ke arah lain mengacuhnya seakan tidak melihatnya, mereka menunjukkan ketidakpedulian mereka.

Gagak menundukkan kepalanya, sendirian lapar dan terluka mulai dan kehilangan harapan.

Tetapi kemudian dari dekat semak di sekitarnya terdengar suara lembut dan sangat lembut  berkata:

Aku akan membantumu jika kau tidak memandang kekuatan kecilku.

Dia adalah seekor pipit kecil yang baik hati bijaksana, dia melompat di sampingnya, membawa remah roti kering di paruhnya. Kemudian dia membawa setetes air ditempatkan dalam penampungan daun kering, dan menyiapkan sarang di dekat akar pohon.

Mengapa kau melakukan ini? Gagak dengan lembut berkata, karena kau masih hidup dan karena jika kelak aku jatuh, aku juga berharap seseorang tidak akan melewatiku.

Hari berlalu awalnya gagak tidak bisa bergerak tetapi pipit tidak pernah meninggalkannya selalu berbagi remah-remah dengannya, menceritakan tentang kehidupan di hutan, menghangatkannya di malam yang dingin. 

Dan ketika gagak dapat melebarkan sayapnya lagi, pemikiran pertamanya bukan untuknya, tetapi untuk teman kecil yang telah menjadi lebih dari siapa pun baginya.

Musim semi datang dengan cepat. Hutan dipenuhi dengan cahaya dan suara.

Tapi suatu hari, saat pipit mengumpulkan biji-bijian, seekor elang keluar dari semak-semak. Semuanya terjadi dalam sekejap -  tidak punya waktu untuk mengelak.

Tapi tiba-tiba, siluet hitam melaju dari langit, tampak gagak, kuat dan gagah, melebarkan sayapnya dengan begitu keras hingga mengeluarkan berbunyi keras, menabrak elang dan mengusirnya.

"Kau menyelamatkan aku" bisik pipit.

Tidak, kau yang menyelamatkanku lebih dulu, gagak menjawab. - Dan sekarang aku tahu bahwa kebaikan tidak diukur dari ukuran sayap, dan hati dapat menjadi besar bahkan pada dada yang lebih kecil.

■Moral cerita,

Jangan pernah meremehkan siapapun yang lebih lemah darimu. 

Sebab kadang-kadang dia yang kau anggap tidak berarti yang kelak menjadi penolongmu.

Dan kebaikan yang diberikan tanpa mengharapkan balasan selalu kembali disaat kamu tidak ada harapan, padahal kamu sangat membutuhkannya.

Odin Anjing Gembala Heroik


 

Kabarnya, Kisah Berani Odin, Anjing Penjaga Kambing yang Selamat dari Kebakaran Hebat Tubbs 2017

Pada 2017, bencana kebakaran hebat Tubbs melanda California, seekor anjing bernama Odin menunjukkan keberanian luar biasa. Ia memilih untuk tetap berada bersama kawanan kambing yang menjadi tanggung jawabnya meski keluarganya harus mengungsi demi keselamatan. 


Ketika kebakaran mulai menyebar dengan cepat, pemilik Odin memutuskan untuk segera mengevakuasi diri dan hewan-hewan mereka demi menghindari bahaya. Namun, Odin justru memilih bertahan dan tidak meninggalkan kambing-kambing tersebut. Hal ini menunjukkan ikatan yang kuat antara sang anjing dengan kawanan kambing yang selama ini dijaganya. 


Selama beberapa hari, api melalap hampir seluruh lahan di sekitar peternakan. Tidak ada yang tahu pasti bagaimana kondisi Odin dan kambing-kambing yang ditinggalkan. Rasa cemas dan harap-harap cemas terus menyelimuti pemiliknya. Mereka takut kehilangan hewan kesayangan dan ternak yang telah dirawat dengan penuh cinta.


Anjing penjaga seperti Odin memang dilatih untuk menjaga kawanan ternak dengan setia, bahkan dalam situasi berbahaya sekalipun. Mereka memiliki insting pelindung yang kuat dan mampu mengenali ancaman di sekitar kawanan mereka. Hal ini menjadikan Odin lebih dari sekadar anjing biasa. 


Ketika api akhirnya mereda dan pemilik kembali ke peternakan, mereka sangat terkejut menemukan Odin masih hidup. Lebih mengejutkan lagi, semua kambing yang dijaga Odin juga selamat dari kebakaran. Keberanian dan kesetiaan Odin telah menyelamatkan nyawa hewan-hewan tersebut dari ancaman besar. 

Keberhasilan Odin menjaga kambing-kambing selama kebakaran bukan hanya soal keberuntungan. Ia menggunakan naluri dan keberanian untuk melindungi kawanan itu, menghalangi mereka agar tidak tersesat atau terluka. Hal ini menunjukkan bahwa hubungan antara manusia, hewan peliharaan, dan ternak bisa sangat kuat dan penuh makna. 


Para pemilik Odin sangat berterima kasih dan bangga atas tindakan berani sang anjing. Kisah ini menjadi inspirasi banyak orang tentang betapa pentingnya keberanian dan kesetiaan, terutama dalam situasi sulit. Odin pun menjadi pahlawan lokal yang kisahnya tersebar luas di berbagai media. 

Selain keberanian, kisah Odin juga mengingatkan kita akan pentingnya kesiapsiagaan menghadapi bencana alam. Peternakan dan pemilik hewan harus selalu siap dengan rencana evakuasi dan perlindungan agar hewan-hewan tetap aman saat terjadi situasi darurat. 

Cerita Odin dan kambing-kambingnya ini juga menguatkan hubungan emosional antara manusia dan hewan peliharaan. Mereka bukan sekadar hewan, tapi bagian dari keluarga yang perlu dilindungi dan dihargai.

 

Sumber: Liputan6 .com - "Odin, Anjing Penjaga Kambing yang Selamat dari Kebakaran Tubbs

Selasa, 15 April 2025

Otento San おてんとさん





 (verse 1) 

鼻で知る春 木の芽の匂い (Hana De Siru Haru, Ki No Me No Nioi) [Smelling, Spring is Coming: the Odor of tree buds] 耳で知る秋 ツクツクボウシ (Mimi De Siru Aki, TsukuTsukuBo-si) [Listening, Autumn is Coming: the Song of Meimuna opalifera] お天道さん……お天道さん…… (O'Tentoh San..... O'Tentoh San.....) [O, The Sun. O, Motherly God] めんないがらすのこのあたしとは (Men'NaiGarasu No Kono Atashi Towa) [I, The blind raven, and Thou,] お互い貸し借りゃないけれど (O'tagai Kashi-Kari-ya Nai Keredo) [We've been owed nothing each other, but,] きけばあなたもひとり者 (Kikeba Anata mo Hitori Mono) [I heard you also lonely, so I with thou.) (line) もし……どなたさまでございます (Moshi...... Donata-sama de gozaimasu?) [Pardon me..... May I ask who you are, sir?) ええ寄るんじゃねえおい寄るんじゃねえ (Eh-eh Yorun-Jya-Neh, Oi, Yorun-Jya-Neh) [Hey, Don't come closer, I said, don't come closer!] 寄るってえと俺ら抜くぞ (Yorut-Teh-To O'ra Nukuzo?) [If you'd came closer, I'd pull of mine.) ウハハハハ…… (Uhahahah.....) 何んだいおい枯葉さんかい (Nan-Dai, Oi, Kareba-San Kai?) [Well, Aren't you Mr. dry leaf, you scared of me.) (verse 2) 風がはこんだ 落ち葉にさえも (Kaze Ga Hakon-Da, O'Chiba Ni Sae Mo) [Even fallen leafs blown by wind) おびえ とび起き 抜く 仕込み杖 (O'Bie Tobioki, Nuku Shikomi-Zue) [I sprung up with fear and pull the cane-sword) "お天道さん……お天道さん……" [O, The Sun. O, Motherly God] "かんべんなすっておくんなせえよ" [KanBen Nasutte O'Kun-Na-Sehyo] (Please Don't do that to thee anymore.) "やくざなこの身のかわいさに" (*Yakuza-Na Kono Mi No Kawai-Sa Ni) [Mercy for my low-down-miserable-fate.] *If you use the word Yakuza as adjective, It means the low life in which sometimes including wanderers, literally means opposite of the hard-working-men(Kataghi): such as the geishas, the hustlers, the journalists(for digging people's tragedy, referring themselves with self-pity), the yakuza=Japanese gangsters, the bakutos(of bakuchi-uchis)=the gamblers, the crimes, and the blind monk masseurs=Zato. Zato-Ichi means Ichi, the Zato. He is the Yakuza, not because he is in the organized group, but he is Bakuto and Zato, and even in the sense of self-defense, he murdered. 片手念仏逆さ切り (Kata Te Nenbutsu Sakasa Giri) [I pray with one hand for Buddha to save the souls whose are killed by the sword cane holding in my another hand Backwardly.] (Line) ああもう斬りたくねえ斬りたくねえ (Ah, Moh Kiritaku Neh, Kiritaku Neh) [Ah, I don't wanna kill anymore, not gonna kill no more.) お天道さまもしお天道さま…… (O'Tento Sama, Moshi, O'Tento Sama......) [O, The Sun. Do thou hear thy? O, Motherly God] ちょっとだけちょっとだけ (Chot-To-Dake, Chot-To-Dake) (Just a little bit of a moment, just a little bit) 目を付けてやっておくんなせいまし (Meh-Oh Tsukete Yat-Te O'kun-Nasei Masi) [Give thy a sight to see your glory?] 目さえありゃ逃げられるんです (Me Sae Arya NigerarerunDesu) [And I can escape to kill no one.] (Verse 3) 地蔵さんにはからすがとまり (Jizoh-San Niwa Karasu Ga Tomari) [Crows rest on the merciful buddha statue] 花にゃ蝶々がとまるというが (Hana-Nya Chouchou Ga Tomaru To Iuga) [And Butterflies rest on the flowers, I heard) お天道さん……お天道さん…… (O'Tentoh San..... O'Tentoh San.....) [O, The Sun. O, Motherly God] こんどはわたしの番でござんす (Kondoh Wa Watashi No Ban De Gozansu) [Now I think my turn is coming] 泣かれる身寄りもないけれど (Nakareru Miyori Mo Nai-Keredo) [No one left to grief for my death, I know) 死ぬのはいやでございます (Shinu Nowa Iya De Gozaimasu) [Please, I just don't wanna die.]




Justmarkets

JustMarkets JustMarkets JustMarkets JustMarkets JustMarkets

FXPro

img img img

Exness

FBS

Tickmill

path path path path path path

XM

Roboforex

M4Markets