Aku hanyalah sebatang pulpen biasa.
Tidak ada tinta emas, tak pula ukiran mewah di tubuhku. Tapi
aku memiliki sesuatu yang lebih berharga: aku menjadi saksi dari harapanharapan
yang ditulis dengan sepenuh jiwa.
Namaku Widura. Nama itu diberikan oleh tuanku — seorang pria
sederhana tanpa bakat istimewa, tapi memiliki keistimewaan yang tak dimiliki
banyak orang: ia mampu menjaga harapan dan menuliskan kebaikan dengan ketulusan
yang murni.
Ia bukan penulis terkenal, bukan pula orang kaya atau tokoh
penting. Tapi bagi orangorang di sekitarnya, ia adalah penolong, penguat, dan
penjaga semangat.
Setiap hari, ia membuka buku catatan lusuh yang selalu
dibawanya. Aku—si pulpen tua—digenggamnya dengan hangat, lalu dia mulai
menulis:
"20 Februari.
Aku berharap bisa membantu Pak Min tetangga sebelah yang sedang sakit. Target
selesai minggu depan."
"3 Maret. Hari
ini aku ingin memberikan makan untuk kucingkucing liar. Semoga aku tetap
rajin."
"12 April. Aku
ingin belajar lebih sabar saat menghadapi anakanak jalanan, karena mereka adalah
guruguru kehidupanku juga."
Harapanharapan itu tidak megah, tapi nyata. Dan yang lebih
penting—ia benarbenar mengupayakannya.
Kadang aku bertanya dalam hati, bagaimana bisa seorang
manusia begitu tekun menuliskan dan melaksanakan kebaikan, walau tak ada yang
melihat atau memuji?
Ia sering berbicara kepadaku. "Widura, hari ini kita
menulis harapan baru ya. Meskipun kecil, kita tetap coba ya."
Sungguh, aku hanyalah pulpen. Tapi entah bagaimana, aku
merasa hidup. Setiap kali ia mencatat, aku merasakan getaran hangat—seperti
bahagia yang menyusup ke tubuh logamku. Ketika harapannya terkabul, aku merasa
seolah menari. Tapi saat harapannya gagal... aku mendengar dia bergumam, "Tidak
apaapa Widura, kita coba lagi nanti. Kebaikan tak selalu harus berhasil, yang
penting ikhlasnya tetap hidup."
Terkadang ia mencatat dengan air mata, terutama saat gagal,
atau saat tak ada yang mengerti perjuangannya. Tapi ia tak pernah berhenti. Ia
percaya bahwa dunia membutuhkan lebih banyak orang yang menuliskan kebaikan,
walau tak dibaca siapasiapa.
Dia mengajarkanku,
dan mungkin kalian juga, bahwa menuliskan harapan dan kebaikan bukan hanya soal
tinta di atas kertas, tapi tentang menyemai cahaya di dalam jiwa.
Aku merasa bangga menjadi bagian dari kisahnya.
Aku hanyalah benda mati—tapi berkat tuanku, aku punya perasaan.
Dan aku percaya… kalau lebih banyak orang menulis seperti
tuanku, dunia akan jauh lebih baik.
Mungkin… kamu juga perlu memiliki satu buku dan satu pulpen.
Dan mulai menuliskan harapanharapanmu hari ini.
Karena seperti kata
tuanku: “Jika tak bisa menjadi pahlawan bagi dunia, jadilah penulis harapan
untuk duniamu sendiri.”
EmoticonEmoticon