🌏
Sebuah Pertanyaan yang Tak Pernah Terjawab
Dalam jagad kisah pewayangan modern dan legenda silat
Nusantara, ada satu momen ganjil yang kerap disebutsebut, namun jarang
dijelaskan: mengapa seorang biksu sakti dari Tibet bernama Kampala menantang
Prabu Brama Kumbara dari Djawa Dwipa dalam adu kesaktian?
Ini bukan hanya pertanyaan tentang pertarungan fisik,
melainkan tekateki spiritual yang menyimpan makna mendalam tentang persilangan
dua terang dari dua dunia: Himalaya dan Nusantara.
🕯️ Jalan Panjang dari Himalaya ke Jawa Dwipa
Banyak orang tak menyadari bahwa perjalanan dari Tibet ke
tanah Jawa, di masa kuno, bukanlah perkara mudah. Gunung, gurun, samudra, dan
hutan lebat memisahkan kedua wilayah. Namun para yogi dan pendekar tingkat
tinggi memiliki cara yang melampaui logika biasa — perjalanan melalui bathin,
melalui medan energi dan cahaya suci yang menghubungkan para penjaga dharma di
seluruh dunia.
Biksu Kampala, seorang guru besar aliran Tantrayana Tibet,
adalah penjaga keseimbangan spiritual di bumi utara. Dalam semadinya yang dalam
di balik salju Himalaya, ia merasakan getaran cahaya baru dari arah selatan —
sebuah sinyal dari tanah asing yang memancarkan kekuatan dharma luar biasa.
Cahaya itu tidak liar, tidak sombong, namun penuh api kebenaran. Namanya belum
dikenal di utara, namun sinarnya menyentuh langit.
Itulah cahaya dari Prabu Brama Kumbara, raja Madangkara,
pendekar dan pemimpin yang menjalani laku dharma khas Jawa — jalan antara
Hindu, Buddha, dan adat nenek moyang.
🔥
Pertemuan Dua Keyakinan, Dua Jalan Suci
Tantangan yang diajukan Biksu Kampala bukan karena
permusuhan, tapi karena panggilan batin. Tantrayana Tibet dan ShiwaBuddha Jawa
adalah dua gunung tinggi spiritual dengan puncaknya masingmasing. Kampala ingin
tahu: "Apakah terang dari selatan sejernih seperti yang kurasakan?"
Dalam pandangan Tibet, terang dari luar dirinya harus diuji.
Bukan untuk menjatuhkan, melainkan untuk memastikan keseimbangan dunia tidak
terganggu oleh kekuatan baru yang tidak dikenal.
Sementara itu, Brama Kumbara, walau seorang raja, adalah
manusia yang menjalani hidup dengan prinsip kesederhanaan dan kehormatan. Ia
tidak menantang, tetapi menyambut tantangan dengan doa dan kesiapan bathin.
Sebab ia tahu, para pendekar sejati tak bertarung demi menang, tetapi demi
mempertemukan dua pemahaman dalam satu pencerahan.
⚖️ Adu Kesaktian yang Menyatukan, Bukan Memecah
Banyak yang menyangka keduanya akan bertarung dengan amarah
dan adu kekuatan merusak. Namun kenyataannya adalah adu kemurnian niat dan
kejernihan bathin.
Dalam versi yang diceritakan para pertapa gunung dan pendeta
batin Nusantara, pertemuan mereka lebih seperti tari energi, bukan perang.
Seperti dua cahaya yang menyatu lalu menari dalam kesunyian malam.
Ada yang menyaksikan pertemuan mereka terjadi di puncak
Gunung Lawu, tempat yang dianggap sebagai gerbang antara dunia manusia dan
dunia para leluhur. Di sana, tidak ada darah, tidak ada benturan. Hanya doa,
mantra, dan gemuruh energi yang membelah langit dan bumi. Saat matahari terbit,
keduanya saling membungkuk — saling mengakui kekuatan dan jalan masingmasing.
✨
Pelajaran dari Pertemuan Dua Dunia
Tantangan Biksu Kampala bukan sekadar duel antar pendekar,
tapi simbol penerimaan lintas keyakinan dan pengakuan terhadap terang yang
muncul dari tanah yang tak dikenal.
Keyakinan Tantrayana Tibet dan ShiwaBuddha Jawa mungkin
berbeda dalam bentuk dan ritual, namun bersatu dalam esensi: menjaga
keseimbangan dunia dengan batin yang murni dan tindakan yang bijak.
Dan ketika dua cahaya saling menyapa, mereka tidak saling
membakar, tetapi saling menerangi.
🌿
Penutup
Hari ini, banyak orang mengenal Prabu Brama Kumbara sebagai
pendekar besar, namun belum memahami sepenuhnya bahwa kedalaman spiritualnya
bahkan diakui oleh para guru dari langit utara. Kisah pertemuannya dengan Biksu
Kampala adalah pengingat bahwa dalam jalan spiritual sejati, tak ada batas
antar bangsa, tak ada tembok antar keyakinan. Yang ada hanyalah pengakuan
terhadap terang, dari manapun ia berasal.
“Ketika cahaya dari utara bertemu dengan cahaya dari selatan, dunia pun menjadi lebih terang.” Kitab Dharmagni, naskah kuno tak dikenal