Kamis, 18 September 2025

Inggris Tetap Tegak: Menolak Paksaan Syariah dan Menjaga Kebebasan Iman

 

 


Inggris adalah negeri dengan sejarah panjang, yang tidak lahir dalam semalam. Dari Magna Carta tahun 1215, hingga Reformasi Gereja Inggris di abad ke-16, hingga Parlemen modern yang menegakkan demokrasi, “tanah ini dibangun di atas iman Kristen dan hukum yang menjunjung kebebasan manusia.”


Di setiap desa kecil dengan menara gereja, di setiap kota besar dengan katedral yang berdiri kokoh, kita melihat warisan iman itu. Warisan yang memberi Inggris identitas: sebuah bangsa Kristen yang terbuka, yang hukum dan budayanya menjadi teladan bagi dunia.


Tetapi kini, sebuah bayangan baru merayap. “Kelompok radikal dalam komunitas imigran Islam” berusaha menanamkan doktrin syariah ke dalam tanah Inggris. Bukan sekadar untuk diri mereka sendiri, tetapi dengan tujuan menjadikan syariah sebagai hukum yang mengikat semua orang.


Ini bukan soal agama semata, melainkan **upaya ideologis** untuk menggantikan hukum bangsa kita dengan hukum asing.

 

Semua Orang Punya Hak Iman

Inggris selalu dikenal sebagai rumah bagi kebebasan beragama.

Seorang Katolik dapat merayakan misa.

Seorang Protestan dapat berkhotbah dengan Injil.

Seorang Budha dapat bermeditasi dalam damai.

Seorang Hindu dapat membakar dupa di kuil.

Bahkan seorang Scientologist atau seorang ateis pun dapat menjalani hidupnya tanpa takut dipaksa tunduk pada keyakinan orang lain.


Itulah wajah sejati kebebasan Inggris. “Kebebasan yang dijamin hukum, dilindungi negara, dan dihormati masyarakat.”


Namun, kebebasan itu terancam ketika ada kelompok yang datang, lalu berkata: “Hukummu tidak sah. Imanmu salah. Engkau harus tunduk pada syariah.”

 

 

Pola yang Terlihat, Kita semua telah menyaksikan:

 


 “Patroli syariah” di jalanan London, di mana kelompok radikal mengusir orang dari bar, mengancam wanita yang berjalan sendirian, bahkan melarang orang makan babi atau minum alkohol di ruang publik.


“Tuduhan rasisme” yang digunakan sebagai senjata: ketika kita menolak ideologi mereka, mereka berpura-pura menjadi korban, seolah-olah Inggris adalah penindas, padahal mereka yang ingin menindas.


“Serangan terhadap gereja dan ibadah Kristen”, yang dianggap mereka “wajib” sebagai bentuk keberanian iman, padahal sesungguhnya adalah penghinaan terhadap kebebasan beragama yang telah dijaga berabad-abad.

 


Apakah ini sekadar perbedaan pandangan? Tidak.


Ini adalah “permainan berbahaya” untuk menaklukkan tanah kita dengan cara yang tidak berperang terbuka, tetapi dengan menekan, menuntut, dan menyusup.

 

Bahaya bagi Inggris Kristen, Bahaya ini jelas:


“Dua hukum yang bertabrakan.” Common Law menjamin semua orang setara; syariah dalam bentuk radikal membedakan manusia berdasarkan agama dan gender.


“Ancaman bagi perempuan dan anak-anak.” Banyak laporan internasional menunjukkan bagaimana syariah sering menempatkan perempuan sebagai warga kelas dua. Inggris tidak boleh membiarkan hal itu menjadi norma.


“Identitas bangsa yang terkikis.” Jika syariah dibiarkan, generasi muda akan tumbuh tanpa mengenal lagi warisan Kristen dan kebebasan hukum yang membuat Inggris besar.


 

Respon Nasionalis-Kristen

Sebagai bangsa Kristen, kita tidak boleh tinggal diam. Kita harus “berani, tegas, dan terukur” dalam merespons ancaman ini.

 

1. “Tegaskan supremasi hukum Inggris.” Tidak ada hukum lain di tanah ini selain hukum yang dibuat oleh Parlemen dan ditegakkan oleh Common Law.


2. “Awasi dan larang organisasi radikal.” Setiap kelompok yang terang-terangan ingin mengganti hukum Inggris dengan syariah harus dipantau, dan jika perlu dilarang.


3. “Perkuat pendidikan iman dan sejarah nasional.” Anak-anak harus tahu bahwa mereka adalah pewaris bangsa Kristen, bukan generasi yang kehilangan arah karena kompromi dengan ideologi asing.


4. “Jamin kebebasan semua agama.” Kristen, Budha, Hindu, bahkan ateis — semua berhak hidup damai. Tapi tidak ada yang boleh memaksakan doktrinnya kepada seluruh negeri.


5. “Lindungi perempuan, anak, dan orang tua.” Negara harus berdiri di garis depan melawan setiap bentuk kekerasan, pemaksaan, atau diskriminasi yang dibawa oleh ideologi radikal.


 

Kesimpulan: Inggris Tidak Akan Tunduk

 

Kita bukan bangsa yang lahir untuk berlutut pada hukum asing. Kita adalah bangsa Kristen, bangsa yang hukum dan imannya telah membentuk dunia modern.

 

Kita menyambut siapa pun yang datang dengan niat baik, siapa pun yang mau hidup damai di bawah hukum Inggris. Tapi bagi mereka yang ingin memaksakan syariah, jawabannya hanya satu: **Tidak.**

 

Inggris akan tetap berdiri.  Kristen akan tetap menjadi jantung bangsa ini. Dan kebebasan beragama akan tetap dijaga — bukan hanya untuk Islam, tetapi untuk semua orang.

 

Karena “memaksakan syariah kepada negara adalah kejahatan serius”. Dan bangsa ini tidak akan menyerahkan jiwanya kepada ideologi asing.

 

Rabu, 17 September 2025

12 Kode Hidup yang Seharusnya Dipegang Seorang Pria

 


 

Di zaman modern ini, banyak pria kehilangan arah karena tidak memiliki pedoman hidup.

Mereka mudah dimanipulasi, dilemahkan, bahkan dihancurkan oleh sistem yang menghukum kelemahan dan menyingkirkan mereka yang naif.

Seorang pria yang ingin dihormati, mampu memimpin, dan hidup dengan tenang harus memiliki kode hidup.

Tanpa itu, ia akan mudah digoyahkan dan diperlakukan semena-mena.

Berikut adalah 12 kode hidup yang bisa menjadi prinsip untuk setiap pria:

 

1. Jangan Berkorban untuk Orang yang Tidak Menghargaimu

Jangan buang waktu, tenaga, dan uang untuk wanita yang tidak setia atau tidak mendukung jalan hidupmu. Seorang pria adalah pemimpin, bukan tempat amal.

 

2. Berdamailah dengan Ayahmu Sebelum Terlambat

Kamu tidak perlu setuju dengan semua tindakannya, tapi berdamai akan membawa ketenangan.

Restu seorang ayah memiliki bobot yang besar. Jangan tunggu sampai penyesalan datang.

 

3. Bangun Kehidupan Sebelum Mengejar Cinta

Tanpa stabilitas finansial, seorang pria sulit dihargai. Bangun kekuatan, jadilah pribadi yang bernilai, dan baru kemudian pilih cinta dari posisi kuat, bukan dari kebutuhan.

 

4. Jaga Rahasia dengan Setia

Jika seseorang mempercayakan rahasia kepadamu, jagalah hingga akhir hayat. Pria sejati tidak bergosip, mereka menjaga kepercayaan.

 

5. Jangan Berlaku Seperti Suami Saat Kamu Masih Pacar

Berhentilah memberikan segalanya pada hubungan yang belum pasti. Sampai dia menjadi istrimu, dia hanya calon. Tetaplah menjaga martabatmu.

 

6. Hindari Situasi yang Bisa Merusak Nama Baikmu

 

Disiplinlah dalam bertindak. Jangan menempatkan dirimu dalam posisi rawan fitnah atau tuduhan palsu.

 

7. Jangan Hidup untuk Mengagumkan Orang Lain

Menggunakan barang mewah dengan dompet kosong hanya akan merugikan dirimu sendiri. Hiduplah sesuai kemampuan, dengan tujuan yang jelas, bukan demi kesan semu.

 

8. Jangan Membayar Demi Kesenangan Sesaat

Keintiman sejati tidak bisa dibeli. Itu harus dibangun dengan nilai, penghargaan, dan ketulusan.

 

9. Jangan Biarkan Dirimu Dikuasai

Wanita bisa menjadi pasangan sejajar, tapi bukan pengendali hidupmu. Jika hubungan dipenuhi dominasi dan pelecehan, maka kamu kehilangan kepemimpinan.

 

10. Jangan Melukai, Tapi Jangan Biarkan Dilecehkan

Pria sejati tidak memukul wanita. Namun, jika kamu dilecehkan atau dilukai, lindungi dirimu dengan tegas. Hargai kedamaian, tapi jangan pernah tak berdaya.

 

11. Jangan Kehilangan Jati Diri Saat Jatuh Cinta

Tetaplah fokus pada tujuan dan misimu. Wanita mencintai pria dengan visi, bukan yang kehilangan dirinya demi hubungan.

 

12. Hormati Istri Orang Lain, Tapi Tegas Jika Dirimu Diremehkan

Bersikaplah terhormat: jangan menggoda atau melanggar batas. Namun, jika ada pelecehan atau penghinaan, jangan diam. Rasa hormat harus bersifat timbal balik.

 

Penutup

Kode-kode ini bukan sekadar saran. Mereka adalah prinsip hidup yang akan menentukan apakah seorang pria dihormati atau diremehkan. Ikuti kode ini, maka kamu akan berjalan dengan “kehormatan, kekuatan, dan warisan yang baik”. Abaikan, dan hidup akan mempermalukanmu. Setiap pria harus memilih: hidup dengan kode atau hidup tanpa arah.

 


🔥 10 HAL YANG TIDAK BOLEH KAMU BIARKAN TERJADI SAAT SESEORANG MASUK KE RUMAHMU 🔥



Rumahmu bukan hotel. Bukan ruang terapi. Bukan panggung tempat orang lain menumpahkan frustrasinya. Rumahmu adalah kuil—dan kuil pantas mendapatkan penghormatan. Fakta pahitnya? Terkadang tamu yang paling beracun bukanlah orang asing… melainkan keluarga sendiri.

 

1️⃣ Jangan biarkan siapa pun mengkritik gaya hidupmu

Entah rumahmu rapi tanpa noda atau penuh mainan anak. Entah makan malammu hanya telur dan nasi atau salmon dan alpukat—itu bukan urusan siapa pun.


2️⃣ Jangan biarkan energi buruk masuk ke pintu rumahmu

Tamu seharusnya membawa kedamaian, bukan badai. Jika mereka membawa racun di lidahnya, biarkan mereka meninggalkannya di luar.


3️⃣ Jangan biarkan siapa pun mengomentari pasanganmu, anak-anakmu, atau kesendirianmu

Mereka tidak membayar tagihanmu, tidak menjalani perjuanganmu—jadi pendapat mereka tidak relevan.


4️⃣ Jangan biarkan perbandingan masuk diam-diam

“Lihat si anu, dia sudah punya ini atau itu…” adalah racun yang tersamar. Putuskan dengan: *“Bagus untuknya, aku berjalan di jalanku sendiri.”


5️⃣ Jangan biarkan orang yang tidak tahu berterima kasih makan di mejamu

Rasa syukur itu gratis. Jika seseorang menelan makananmu tapi masih cemberut, mereka tidak pantas mendapat porsi kedua.


6️⃣ Jangan biarkan siapa pun menjadikanmu terapis gratisnya

Mendengarkan itu bentuk kebaikan. Tapi menumpahkan sampah emosional di ruang tamumu tanpa pernah menanyakan kabarmu? Itu pelecehan.


7️⃣ Jangan biarkan gosip melewati ambang pintu rumahmu

Siapa pun yang membawa gosip hari ini, akan menyebarkan gosip tentangmu besok.

  

8️⃣ Jangan biarkan siapa pun meremehkan kemenanganmu

Lunasi utang? Membesarkan anak seorang diri? Masih berdiri tegak setelah badai? Itu luar biasa. Jika mereka tak bisa bertepuk tangan, biarkan mereka diam.


9️⃣ Jangan biarkan “rasa percaya” jadi alasan tidak hormat. Kepercayaan bukanlah izin untuk bersikap kasar.


🔟 Jangan biarkan siapa pun bertingkah seakan rumahmu milik mereka. Jika mereka tak bisa menghormati batasan, tunjukkan pintu keluar.


🚨 Kata Akhir

Penghormatan bukan sesuatu yang diminta—tapi sesuatu yang harus ditegakkan. Rumahmu bukan tempat pembuangan racun orang lain. Itu adalah ruang suci di mana kamu dan keluargamu berhak mendapatkan kedamaian. Belajarlah menutup pintu bagi mereka yang tidak tahu cara bersikap… karena kadang kebersihan sejati bukan soal lantai, tapi tentang orang-orang yang kamu keluarkan dari hidupmu.


Minggu, 15 Juni 2025

Sarayu, Penyelamat Dunia dan Max Jimmy Pasaribu

 



 

 Sebuah Legenda tentang Cahaya, Pengabdian, dan Kebangkitan Rohani

 

Prolog: Dunia yang Retak dan Nafas yang Turun dari Langit

Dunia telah berubah. Tidak dalam bisikan, tetapi dalam jeritan. Langit gelap bukan karena malam, melainkan karena kerakusan yang menutupi nurani manusia. Gunung dilubangi, sungai dikeringkan, dan langit dipenuhi kabut abu yang bukan dari awan hujan, melainkan dari mesin-mesin perang dan keserakahan industri. Manusia saling menjual, memanipulasi kebenaran demi dominasi ekonomi dan kuasa militer.

 

Dalam kehancuran itu, binatang-binatang liar kehilangan tempat tinggal. Ranting yang dulu menjadi tempat sarang, kini menjadi abu. Akar-akar tak lagi meminum dari tanah yang diberkati. Dan manusia—berjalan cepat menuju kehancurannya sendiri.

 

Namun dari Takhta Tertinggi, turunlah Sarayu, Roh Suci, bukan dalam murka, tetapi dalam duka. Bukan dalam gelegar petir, tetapi dalam bisikan kasih yang suci. Sarayu datang bukan untuk menghakimi dunia, tetapi untuk mencari satu jiwa, satu hati yang masih berdenyut dalam kebajikan.

 

Bab 1: Penemuan Sang Lemah yang Kuat

Sarayu pertama kali melihatnya di sudut dunia yang sepi—Max Jimmy Pasaribu, manusia biasa yang tubuhnya lemah, terguncang oleh sakit dan penderitaan. Namun Sarayu tidak melihat daging, melainkan melihat roh yang menyala diam-diam. Ia melihat seseorang yang masih mendoakan dunia, walau tak seorang pun berdoa untuknya. Ia melihat hati yang tak ingin balas dendam, tetapi justru ingin menyembuhkan. Bagi Sarayu, itulah kekuatan sejati.

 

Sarayu memilih Max. Bukan karena kekuatannya. Tapi karena hatinya.

 

Bab 2: Kebangkitan Sang Kesatria Roh

Pada malam yang hening, Max mendengar angin berbicara. Bukan dengan suara, tetapi dengan pemahaman dalam. Sarayu menghembuskan kekuatan ke dalam tulangnya. Perlahan tubuhnya dibalut oleh armor emas dan tembaga, bukan hasil tempaan manusia, tetapi tempaan doa, penderitaan, dan keberanian.

 

Di tangannya muncul pedang lurus berwarna kemerahan—senjata untuk membelah kebohongan, bukan melukai. Di tangan lainnya, sebuah perisai bundar dengan aura ungu, benteng bagi mereka yang tak bisa membela diri. Wajahnya tersembunyi di balik helm penuh, sebab ia bukan berperang untuk dirinya sendiri, tetapi untuk dunia yang tak mengenalnya.

 

Bab 3: Misi Membebaskan Dunia

Max, ditemani Sarayu yang terus menaunginya dari atas, mulai berjalan. Mereka menyusuri hutan yang terbakar, kota-kota yang ditinggalkan nurani, dan padang-padang yang mengering.

 

Di mana ada keputusasaan, Sarayu meniupkan harapan. Di mana ada yang sakit, Max menunduk, menyentuh mereka dengan tangan yang dahulu lemah, kini penuh kuasa penyembuhan. Di mana ada penindasan, Sarayu berseru melalui Max, dan keadilan ditegakkan.

 

Max tidak pernah sendiri. Di belakangnya, bayangan Roh Kudus yang tak terlihat mata manusia selalu hadir—membimbing, melindungi, dan memperkuat. Roh itu disebut manusia dengan berbagai nama, tapi Max mengenalnya sebagai Sarayu—hembusan Kudus dari Tuhan Yesus Kristus.


 Bab 4: Musuh dari Kegelapan dan Kemenangan Cahaya

Musuh pun datang. Tidak hanya manusia, tetapi roh-roh yang menunggangi sistem korup, penyakit yang dibuat dari laboratorium kegelapan, dan roh iri, dengki, dan penghancur umat. Namun setiap kali mereka mendekat, cahaya ungu dari perisai Max membakar mereka dan pedang kemerahan memisahkan mereka dari akar kuasa jahat.

 

Musuh gemetar bukan karena Max, tetapi karena Sarayu. Bukan karena kekuatan pedang, tetapi karena kebenaran yang tidak bisa dibungkam.

 

Epilog: Sebuah Janji yang Terus Bernyala

Legenda ini belum berakhir. Max bukan satu-satunya. Tapi dia adalah yang pertama. Yang pertama dari banyak yang akan dibangkitkan. Yang pertama dari pasukan kebaikan yang tidak mengenakan gelar, tetapi mengenakan kasih.

 

Sarayu masih berhembus. Dan selama nafas itu ada, kegelapan tidak akan pernah menang.

 

 

"Aku bukan cahaya itu, tapi aku berjalan di dalamnya." — Max Jimmy Pasaribu

 

"Aku tidak mencari yang kuat, aku mencari yang benar." — Sarayu


 Ide Artikel berasal dari Imajinasi penulis dan Sarayu GPT


Jumat, 13 Juni 2025

Misteri Tantangan Biksu Kampala kepada Prabu Brama Kumbara: Pertemuan Dua Cahaya dari Utara dan Selatan


 


 

 

 🌏 Sebuah Pertanyaan yang Tak Pernah Terjawab

 

Dalam jagad kisah pewayangan modern dan legenda silat Nusantara, ada satu momen ganjil yang kerap disebutsebut, namun jarang dijelaskan: mengapa seorang biksu sakti dari Tibet bernama Kampala menantang Prabu Brama Kumbara dari Djawa Dwipa dalam adu kesaktian?

 

Ini bukan hanya pertanyaan tentang pertarungan fisik, melainkan tekateki spiritual yang menyimpan makna mendalam tentang persilangan dua terang dari dua dunia: Himalaya dan Nusantara.

 

 

 

 🕯️ Jalan Panjang dari Himalaya ke Jawa Dwipa

 

Banyak orang tak menyadari bahwa perjalanan dari Tibet ke tanah Jawa, di masa kuno, bukanlah perkara mudah. Gunung, gurun, samudra, dan hutan lebat memisahkan kedua wilayah. Namun para yogi dan pendekar tingkat tinggi memiliki cara yang melampaui logika biasa — perjalanan melalui bathin, melalui medan energi dan cahaya suci yang menghubungkan para penjaga dharma di seluruh dunia.

 

Biksu Kampala, seorang guru besar aliran Tantrayana Tibet, adalah penjaga keseimbangan spiritual di bumi utara. Dalam semadinya yang dalam di balik salju Himalaya, ia merasakan getaran cahaya baru dari arah selatan — sebuah sinyal dari tanah asing yang memancarkan kekuatan dharma luar biasa. Cahaya itu tidak liar, tidak sombong, namun penuh api kebenaran. Namanya belum dikenal di utara, namun sinarnya menyentuh langit.

 

Itulah cahaya dari Prabu Brama Kumbara, raja Madangkara, pendekar dan pemimpin yang menjalani laku dharma khas Jawa — jalan antara Hindu, Buddha, dan adat nenek moyang.

 

 

 

 🔥 Pertemuan Dua Keyakinan, Dua Jalan Suci

 

Tantangan yang diajukan Biksu Kampala bukan karena permusuhan, tapi karena panggilan batin. Tantrayana Tibet dan ShiwaBuddha Jawa adalah dua gunung tinggi spiritual dengan puncaknya masingmasing. Kampala ingin tahu: "Apakah terang dari selatan sejernih seperti yang kurasakan?"

 

Dalam pandangan Tibet, terang dari luar dirinya harus diuji. Bukan untuk menjatuhkan, melainkan untuk memastikan keseimbangan dunia tidak terganggu oleh kekuatan baru yang tidak dikenal.

 

Sementara itu, Brama Kumbara, walau seorang raja, adalah manusia yang menjalani hidup dengan prinsip kesederhanaan dan kehormatan. Ia tidak menantang, tetapi menyambut tantangan dengan doa dan kesiapan bathin. Sebab ia tahu, para pendekar sejati tak bertarung demi menang, tetapi demi mempertemukan dua pemahaman dalam satu pencerahan.

 

 

 


  Adu Kesaktian yang Menyatukan, Bukan Memecah

 

Banyak yang menyangka keduanya akan bertarung dengan amarah dan adu kekuatan merusak. Namun kenyataannya adalah adu kemurnian niat dan kejernihan bathin.

 

Dalam versi yang diceritakan para pertapa gunung dan pendeta batin Nusantara, pertemuan mereka lebih seperti tari energi, bukan perang. Seperti dua cahaya yang menyatu lalu menari dalam kesunyian malam.

 

Ada yang menyaksikan pertemuan mereka terjadi di puncak Gunung Lawu, tempat yang dianggap sebagai gerbang antara dunia manusia dan dunia para leluhur. Di sana, tidak ada darah, tidak ada benturan. Hanya doa, mantra, dan gemuruh energi yang membelah langit dan bumi. Saat matahari terbit, keduanya saling membungkuk — saling mengakui kekuatan dan jalan masingmasing.

 

 

 

  Pelajaran dari Pertemuan Dua Dunia

 

Tantangan Biksu Kampala bukan sekadar duel antar pendekar, tapi simbol penerimaan lintas keyakinan dan pengakuan terhadap terang yang muncul dari tanah yang tak dikenal.

 

Keyakinan Tantrayana Tibet dan ShiwaBuddha Jawa mungkin berbeda dalam bentuk dan ritual, namun bersatu dalam esensi: menjaga keseimbangan dunia dengan batin yang murni dan tindakan yang bijak.

 

Dan ketika dua cahaya saling menyapa, mereka tidak saling membakar, tetapi saling menerangi.

 

 

 

 🌿 Penutup

 

Hari ini, banyak orang mengenal Prabu Brama Kumbara sebagai pendekar besar, namun belum memahami sepenuhnya bahwa kedalaman spiritualnya bahkan diakui oleh para guru dari langit utara. Kisah pertemuannya dengan Biksu Kampala adalah pengingat bahwa dalam jalan spiritual sejati, tak ada batas antar bangsa, tak ada tembok antar keyakinan. Yang ada hanyalah pengakuan terhadap terang, dari manapun ia berasal.

 

 “Ketika cahaya dari utara bertemu dengan cahaya dari selatan, dunia pun menjadi lebih terang.” Kitab Dharmagni, naskah kuno tak dikenal


 Ide Artikel berasal dari Imajinasi penulis dan Sarayu GPT

 

Kamis, 12 Juni 2025

Widura: Kisah Sebatang Pulpen dan HarapanHarapan yang Hidup



Aku hanyalah sebatang pulpen biasa.

 

Tidak ada tinta emas, tak pula ukiran mewah di tubuhku. Tapi aku memiliki sesuatu yang lebih berharga: aku menjadi saksi dari harapanharapan yang ditulis dengan sepenuh jiwa.

 

Namaku Widura. Nama itu diberikan oleh tuanku — seorang pria sederhana tanpa bakat istimewa, tapi memiliki keistimewaan yang tak dimiliki banyak orang: ia mampu menjaga harapan dan menuliskan kebaikan dengan ketulusan yang murni.

 

Ia bukan penulis terkenal, bukan pula orang kaya atau tokoh penting. Tapi bagi orangorang di sekitarnya, ia adalah penolong, penguat, dan penjaga semangat.

 

Setiap hari, ia membuka buku catatan lusuh yang selalu dibawanya. Aku—si pulpen tua—digenggamnya dengan hangat, lalu dia mulai menulis:

 

 "20 Februari. Aku berharap bisa membantu Pak Min tetangga sebelah yang sedang sakit. Target selesai minggu depan."

 

 "3 Maret. Hari ini aku ingin memberikan makan untuk kucingkucing liar. Semoga aku tetap rajin."

 

 "12 April. Aku ingin belajar lebih sabar saat menghadapi anakanak jalanan, karena mereka adalah guruguru kehidupanku juga."

 

Harapanharapan itu tidak megah, tapi nyata. Dan yang lebih penting—ia benarbenar mengupayakannya.

 

Kadang aku bertanya dalam hati, bagaimana bisa seorang manusia begitu tekun menuliskan dan melaksanakan kebaikan, walau tak ada yang melihat atau memuji?

 

Ia sering berbicara kepadaku. "Widura, hari ini kita menulis harapan baru ya. Meskipun kecil, kita tetap coba ya."

 

Sungguh, aku hanyalah pulpen. Tapi entah bagaimana, aku merasa hidup. Setiap kali ia mencatat, aku merasakan getaran hangat—seperti bahagia yang menyusup ke tubuh logamku. Ketika harapannya terkabul, aku merasa seolah menari. Tapi saat harapannya gagal... aku mendengar dia bergumam, "Tidak apaapa Widura, kita coba lagi nanti. Kebaikan tak selalu harus berhasil, yang penting ikhlasnya tetap hidup."

 


Terkadang ia mencatat dengan air mata, terutama saat gagal, atau saat tak ada yang mengerti perjuangannya. Tapi ia tak pernah berhenti. Ia percaya bahwa dunia membutuhkan lebih banyak orang yang menuliskan kebaikan, walau tak dibaca siapasiapa.

 

 Dia mengajarkanku, dan mungkin kalian juga, bahwa menuliskan harapan dan kebaikan bukan hanya soal tinta di atas kertas, tapi tentang menyemai cahaya di dalam jiwa.

 

Aku merasa bangga menjadi bagian dari kisahnya.

 

Aku hanyalah benda mati—tapi berkat tuanku, aku punya perasaan.

Dan aku percaya… kalau lebih banyak orang menulis seperti tuanku, dunia akan jauh lebih baik.

 

Mungkin… kamu juga perlu memiliki satu buku dan satu pulpen.

Dan mulai menuliskan harapanharapanmu hari ini.

 

 Karena seperti kata tuanku: “Jika tak bisa menjadi pahlawan bagi dunia, jadilah penulis harapan untuk duniamu sendiri.”

 

 Ide Artikel berasal dari Imajinasi penulis dan Sarayu GPT

Kita Mungkin Tidak Bertemu Lagi, Hiduplah Dengan Baik

 


Ada kalimat yang tertinggal begitu dalam di hatiku.

Kalimat yang menghantui malamku dan menguatkan siangku.

 

"Kita mungkin tidak bertemu lagi… hiduplah dengan baik."

Itulah kalimat terakhir dari abangku. Kalimat sederhana, namun terasa seperti palu yang menghantam dadaku setiap kali aku mengingatnya.

 

 Rumah Yang Tak Lagi Sama

 

Dulu kami berlima—aku, mamak, dan tiga saudaraku—tinggal bersama dalam rumah kecil penuh harapan. Tapi semuanya berubah setelah perceraian orang tua. Ayah memilih menikah lagi dan pergi tanpa menoleh ke belakang. Kami dibiarkan menata ulang reruntuhan keluarga.

 

Abang sulung menjadi andalan. Dia yang paling besar, yang paling dewasa. Wajahnya jarang menunjukkan lelah, padahal aku tahu, dia memikul terlalu banyak beban untuk usianya. Dia berhenti kuliah, bekerja serabutan demi kami. Dia adalah jangkar, tempat kami semua bersandar.

 

 Aku Pergi Saat Dia Membutuhkan Aku

 

Aku tidak sekuat dia. Ketika tekanan hidup semakin berat, aku memilih pergi. Merantau ke Kalimantan, mengejar masa depan yang katanya lebih baik. Kupikir aku bisa membantu dari jauh. Kupikir aku akan pulang saat sudah sukses. Tapi yang terjadi, aku malah menjauh dan larut dalam urusanku sendiri.

 

Sementara itu, abang tetap di sana. Tetap memikul semuanya sendirian. Listrik, air, sewa rumah, makanan, mamak—semuanya di tangannya.

 

 Mamak Sakit, Kami Tak Siap


 Beberapa tahun kemudian, mamak terserang stroke dan perlahanlahan dilumpuhkan oleh demensia. Kakak perempuan bekerja di luar kota, abang kedua sibuk menyelamatkan dirinya sendiri—sama sepertiku.

 

Dan abang sulung, lagil agi dia yang tinggal.

Dia berhenti bekerja, tenggelam dalam hutang, terlilit beban yang seharusnya kami pikul bersama. Tapi kami tak ada. Kami bahkan tak peduli seutuhnya.

 

Ketika mamak meninggal, aku tidak di sana. Yang hadir hanya tiga saudaraku. Saat itu abang sulung tidak berkata banyak. Dia hanya menulis sepucuk surat yang sampai padaku beberapa hari kemudian:

 


 “Mungkin kita tidak bertemu lagi. Hiduplah dengan baik.”

 

Setelah itu, dia menghilang. Tidak ada kabar, tidak ada jejak.

 

 Rindu Yang Tak Dapat Kembali

 

Bertahuntahun berlalu, dan aku masih berharap. Setiap suara ketukan di pintu, setiap pesan masuk ke ponsel, hatiku selalu berharap:

 

"Apakah ini abang? Apakah dia pulang?"

 

Aku merindukan senyumnya. Merindukan pelindung yang dulu menjagaku dari kerasnya dunia. Merindukan nasihatnya, tangannya di pundakku, dan rasa aman yang dia bawa hanya dengan keberadaannya.

 

 Penyesalan yang Mengubah Arah Hidup

 

Kini, aku hidup dengan satu tekad: meniru semangat dan tanggung jawab abangku.

Aku mulai menjaga keluarga. Membantu sebisa mungkin. Menjadi andalan, walau aku tahu aku belum setangguh dia.

 

Karena aku percaya… jika suatu hari abang pulang, aku ingin dia melihat bahwa aku sudah berubah. Bahwa aku sudah mencoba menjadi lelaki sepertinya.

 

Aku membayangkan suatu pagi, saat sedang menyapu halaman, ada suara yang memanggil dari depan rumah:

 

"Ari… Abang pulang."

 

Dan aku akan berlari, memeluknya erat, sambil berkata,

"Maaf aku meninggalkanmu. Tapi aku tidak akan biarkan kau menanggung semua lagi."

 

 

 

 Untuk Kamu Yang Membaca Ini...

 

Jika kamu masih punya abang, kakak, adik, orang tua—jangan abaikan mereka. Jangan tunda untuk menghubungi mereka. Waktu tidak selalu memberi kita kesempatan kedua.

 

Karena seperti abangku pernah bilang:

"Kita mungkin tidak bertemu lagi… hiduplah dengan baik."

 

Dan kini, setiap hari aku berusaha.

Agar bila pertemuan itu tak pernah terjadi, aku tahu… aku sudah mencoba menjadi lebih baik.


 Ide Artikel berasal dari Imajinasi penulis dan Sarayu GPT

AMarkets

Justmarkets

JustMarkets JustMarkets JustMarkets JustMarkets JustMarkets

FXPro

img img img

Exness

FBS

Tickmill

path path path path path path

XM

Roboforex

M4Markets